Rabu, 10 November 2010

DIMANA KAKEK SAYA?

Saya lahir di keluarga yang sederhana, selama 20 tahun lebih. Dan saat ini saya ingin membagikan kesaksian hidup saya.
Konon cerita dari orang tua saya, kakek (akong) saya adalah anak orang kaya raya yang pada saat itu bertempat tinggal di daerah Praban (daerah yang sampai saat ini daerah mayoritas penduduknya WNI keturunan) walaupun hanya sekedar anak angkat tetapi ia tetap menjadi orang yang terpandang pada jaman itu, semua penduduk disana memanggilnya laupan(tuan).
Sampai pada suatu hari akong saya dijodohkan oleh nenek saya dan mempunyai 3 orang anak yang salah satunya adalah orang tua saya. Kembali lagi menurut cerita, kakek saya adalah seorang penjudi, harta kekayaannya ia pakai untuk berjudi, hingga usia pernikahan kakek dan nenek saya tidak bertahan lama karena harta mereka habis hingga anak-anak mereka terlantar dan di asuh oleh saudara-saudara lain. Dari situ hidup orang tua saya dan kedua saudaranya sangat tidak menyenangkan karena bergantung hidup pada kerabat.
Singkat cerita sampai disini saya mendengarkan cerita masa lalu orang tua saya. Pada saat itu saya sungguh ingin menangis.
Kakek dan nenek saya mulai berpisah rumah, entah sejak orang tua saya umur baru berapa tahun. Yang saya tahu semenjak saya lahir adalah nenek saya yang sering mengunjungi rumah orang tua saya setiap hari minggu sepulangnya dari gereja.
Suatu hari disaat saya masih duduk di bangku SD ada seorang kakek tua yang mengunjungi rumah orang tua saya dengan naik sepeda ‘kebo’nya. Ia datang dengan pakaian yang rapi dengan bau aroma tubuhnya yang seperti cengkeh (ya kerena kakek saya berprofesi seorang tukang pijit dengan minyak cengkeh). Sekitar 3-4 bulan sekali ia datang menjenguk saya dan kakak saya, ia datang selalu ingin memijit cucu-cucunya. Katanya “apa ada pilek?, ato batuk?” ia adalah tukang pijit titik-titik saraf ia hafal betul dimana titik-titik organ tubuh yang menyebabkan orang sakit.
Saat ini saya berhenti mengetik sejenak, meghela nafas dan menghapus air di sudut mata.
Semakin lama tahun demi tahun kakek saya semakin jarang menjenguk kami (saya dan kakak, adik saya), pada saat itu kami belum terpikir mengapa tidak kami saja yang datang menjenguk akong, ternyata lambat laun kami tahu bahwa kakek saya tidak memiliki tempat tinggal sejak ia jatuh miskin. Dan ia adalah seorang tuna wisma dengan pekerjaan yang serabutan, entah satu hari makan berapa kali, ia dapat mandi dimana. Jujur saja tidak ada sedikitpun rasa benci di hati kami atas perbuatannya di masa lalu.
Pernah suatu kali setelah 1 tahun ia tidak datang menjenguk kami, ia datang dan menceritakan bahwa ia ‘kesasar’(tersesat) dan di beritahu orang dimana rumah orang tua saya, saat itu saya menjelaskan bahwa akong tidak kesasar tapi memang kami sudah pindah rumah. Letak rumah baru kami tidak jauh dari tempat tinggal lama kami maklum rumah keluarga kami masih kontrak. 3x kami pindah rumah ia masih ada barang sesekali menjenguk kami.
Kondisinya semakin hari semakin memburuk sepeda ‘kebo’ yang dulu yang dulu miliknya sendiri sudah di jual, dan ia menjenguk kami dengan sepeda pinjaman, tiap menjenguk pakaiannya makin lama makin kotor dan bau kali ini bau tidak sedap, tangannya yang biasa memijat kami tampak menebal menghitam, rambutnya beruban semua, jambang yang tidak pernah dicukur dan yang mengkhawatirkan adalah ia mulai pikun.
Sering kali orang tua saya memberi ia pakaian pria yang bisa ia pakai. Tapi tetap saja tiap ia datang dengan kondisi yang memprihatinkan. Ia sudah semakin mirip dengan gelandangan.sungguh sangat kasihan saya melihatnya. Ia tidak terlalu lama menjenguk kami karena sebelum sore tiba ia harus segera pamit dengan alasan kalau sore ia tidak dapat melihat jalan dengan jelas. Orang tua saya selalu memberi uang jajan untuk kakek saya.
Kedua orang tua saya yang paling tidak 2 bulan sekali menjenguk kakek saya. Tahu dimana? Di pinggir sungai daerah praban. Mungkin tampaknya orang tua saya mgabaikan orang tuanya sendiri, mengapa tidak di ajak untuk tinggal bersama di rumah?. Tapi ternyata semakin dewasa saya makin tahu. Sejak kakek saya jatuh miskin ia tidak pernah tinggal jauh dari lokasi rumah tempat ia tinggal dahulu mungkin banyak tersisa kenangan bagi dia di daerah praban, bahkan dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan warga daerah praban tetap memanggil ia laupan(tuan).
Setiap orang tua saya meliwati sungai di dekat praban, mereka selalu menjenguk, memberi uang dan melihat kondisi kakek saya. Karena kondisinya semakin hari semakin memburuk terkadang ia sakit-sakitan, orang tua saya menitipkan no telepon dan alamat rumah orang tua saya kepada penduduk sekitar yang masih peduli dengan kakek saya, dengan harapan jika sesuatu terjadi pada kakek saya warga dapat menghubungi orang tua saya.
Saya tidak ingat kapan terakhir kakek saya menjenguk saya. Hingga suatu hari orang tua saya memberikan kabar bahwa RT praban datang kerumah dan memberi tahu bahwa mereka sudah tidak melihat kakek saya berkliaran di daerah praban sekitar 6 bulan terakhir. Di sisi lain keluarga saya sangat bersyukur masih ada orang yang perduli dengan orang yang sebenarnya sudah terbuang dan tidak layak lagi. Tapi disisi lain keluarga saya shock dan binggung harus mencari kemana. Karena info terakhir yang diterima oleh RT dan warga setempat adalah ada seseorang yang mengajak kakek saya pergi ke Cilacap. Dengan siapa? Itu yang ada di benak keluarga saya.
Keesokan harinya masalah ini menjadi topik keluarga saya. Orang tua saya langsung bertindak cepat dengan memperbesar foto kakek saya dan di berikan kepada RT praban agar dapat membantu kelancaran pencarian. Action kedua adalah mengunjungi tempat penampungan gelandangan dan orang gila yang terjaring razia polisi letaknya di daerah keputih. Kedua orang tua saya datang dan berniat untuk bertanya pada penjaga setempat, tapi sayangnya pada saat itu penjaga lembaga penampungan tersebut sedang menjalankan sholat jumat, akhirnya orang tua saya masuk sendiri dan di sana didapati banyak sel-sel seperti di penjara. Ada puluhan orang disana dengan sorot mata yang liar dan mengerikan. Orang tua saya memanggil-mangil nama “akiiiing....akiiiing...” tapi tidak didapati jawaban disana. Tampaknya memang benar-benar tidak ada disana.
Action ketiga adalah mendatangi rumah sakit di surabaya dan menanyakan apa ada pasien meninggal yang bernama aking. Tentu saja sulit di dapati karena terlalu lama jarak kakek saya hilang dengan proses pencarian. Disaat orang tua saya tengah sibuk berusaha saya hanya bisa berdoa dan menangis apalagi membayangkan orang tua saya yang menangis kehilangan orang tuanya.
Keluarga kami mulai menelusuri saudara-saudara tiri kakek saya, disaat kami menemukan titik terang, justru kami di beri harapan oleh seseorang yang menelpon kami yang mengaku kakak dari kakek saya. Puji Tuhan keluarga saya berseru. Ia berjanji akan membantu mencari informasi keberadaan kakek saya. Karena ia mengatakan “memang ada saudara yang tinggal di cilacap”. Tapi siapa yang mengajak kakek saya pergi kesana?ia pergi sendiri?atau ditemani seseorang? Tidak ada jawaban sama sekali untuk pertanyaan kami ini.
Soso(panggilan tante/kakak kakek saya) kami menjelaskan pula bahwa keluarga saya harus terima kabar terburuk sekalipun. Beberapa hari kemudian soso berngkat ke cilacap yang kebetulan ada urusan lain disana.
Minggu demi minggu tidak ada kabar dari soso, namun sesekali saat kami menghubunginya ia mngutarakan bahwa kami lebih baik tanya pada saudara lain dari kakak saya. Ia memberikan alamat rumah yang lokasinya di pinggir jalan menuju perak. Tampaknya memang rumah orang kaya. Walaupun bangunannya sedikit kuno ala orang tionghoa.
Kami sekeluarga naik 2 sepeda motor, kedua orang tua saya, kakak dan adik saya tepat jam 12 siang saat matahari berada di atas kepala kami tiba di rumah saudara kakek saya yang notabene tidak mengenal keluarga saya, orang tua saya hanya menyebutkan “saya anaknya aking”. Keluarga yang saat itu sedang kami temui tampak sedang terburu-buru masuk kedalam mobil dan sama sekali tidak menghiraukan keberadaan keluarga saya. Mereka hanya menjawab sambil berlalu begitu saja tanpa melihat wajah kami. “datang aja kerumah soso yeti”. Kami di imbal-imbal seperti bola. Menurut pemikiran orang tua saya keluarga tersebut mengetahui namun mereka tidak mau mengatakan apa-apa. Keluarga saya pun langsung tancap gas dan pergi kerumah soso yeti, rumahnya daerah kenjeran, setibanya disana tidak ada yang membukakan pintu entah kosong tapi keluarga saya merasa ada orang di dalam sana. Dengan usaha yang sia-sia kami pun melanjutkan perjalanan ke RT praban.
Kepala RT yang sudah lebih dari setengah abad menerima keluarga saya dengan sukacita, kami seperti dianggap keluarga sendiri kebetulan hari itu sedang perayaan imlek. Orang tua saya mulai menanyakan apa ada kabar terbaru dari aking atau tidak. Disana saya, kakak dan adik saya hanya diam mendengarkan orang tua saya dengan ketua RT tersebut menceritakan banyak hal yang tidak pernah saya dengar dari orang tua saya.
Kakek saya adalah seorang juara pelari, pelukis jalanan, pemain alat musik (gitar dan harmonika) yang pandai dan seorang yang dapat menguasai ilmu bela diri. Dan darah itu semua mengalir pada ketiga cucu-cucunya, saya dan adik saya berkali-kali menjuarai lomba lari, dan gambar kami selalu mendapat pujian, dan saat SMA kakak saya menyukai ekstrakulikuler beladiri.
Orang tua saya juga bercerita, suatu waktu pernah ada orang yang menghubungi orang tua saya dengan tergopoh-gopoh dan menyuruh orang tua saya untuk segera datang menjenguk kakek saya yang dalam kondisi tidur dan di hinggapai banyak lalat, dalam perjalanan orang tua saya mengira kakek saya meninggal. Setibanya disana orang tua saya mendapati kakek saya tidur dengan maaf kotoran manusia disekelilingnya, mungkin saat itu kakek saya sedang sakit dan diare sehingga ia dalam kondisi tidak dapat bangun dan BAB di tempat ia tidur. Orang tua saya dengan segera membersihkannya.
Mendengar cerita itu hati saya seperti di iris-iris menahan air mata dan luapan emosi, orang tua saya hanya menangis menceritakan keadaan orang tuanya.
Suami istri yang menjabat sebagai ketua RT tersebut menceritakan dan menunjukan dimana biasanya kakek saya duduk dan berkliaran di jalan.
Kejadian tersebut sekitar tahun 2008, saya hampir lupa dengan runtutan ceritanya. Tapi inti dari semua itu adalah keluarga saya merasa menyesal yang begitu dalam telah membiarkan kejadian seperti ini terjadi, sekalipun kami tahu segala sesautu yang terjadi dalm hidup kami itu semua atas campur tangan Tuhan Yesus.
Sampai saat ini tiap kali mama saya bercerita tentang kakek saya beliau selalu menangis, tiap kali menyaksikan sinetron yang kisahnya sosok seorang ayah yang hilang ia selalu menangis. Saya ingat sekali kata-kata mama sewaktu ia menangis “kalau memang akong meninggal tolong beri tahu ya Tuhan dimana jasadnya” . tak henti-hentinya saya berdoa agar Tuhan mempertemukan kakek saya yang hilang. Pernah juga terlintas di pikiran saya untuk melapor pada stasiun televisi tentang orang hilang, tapi saya rasa kakek sudah terlalu lama menghilang, kecil kemungkinannya untuk di temukan. Hanya Tuhan yang tahu dimana kakek berada.
Bahkan tiap kali saya bepergian dan melihat seorang kakek di pinggir jalan, terlintas di pikiran saya “apa ada akong di antara mereka????”
Sampai detik ini saya baru berani menceritakan kesaksian saya, agar pergumulan saya dapat saya ungkapkan dengan tulisan dan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. *VIENCHE

Jumat, 05 November 2010

MASUKI 2011

Ada satu perasaan yang sangat menggelisahkan ketika saya menuliskan pesan yang saya dapatkan untuk memasuki tahun 2011, beberapa hal yang saya peroleh untuk kita memasuki tahun 2011 sebagai berikut:

MASUKI TANAH PERALIHAN
Sama seperti bangsa Israel yang barus saja keluar dari Mesir dan menuju tanah Perjanjian, mereka harus melalui tanah peralihan yaitu padang gurun. Dipadang gurun terdapat banyak hal yang akan terjadi, diantaranya: Mujizat akan dinyatakan luar biasa, manna dari surge turun, burung puyuh berdatangan, air keluar dari batu karang, laut terbelah, dan sebagainya. Tetapi ditengah-tengah semua peristiwa tersebut ada omelan, keluhan, protes kepada Tuhan akan keadaan yang mereka sedang lalui. Bahkan ketakukan demi ketakutan terus dilalui walaupun akhirnya kemenangan diperoleh. Tetapi ketika kita memasuki tanah peralihan ini, berjaga-jagalah sebab banyak orang yang mati ditengah2nya, karena mereka tidak siap akan proses yang Tuhan sedang kerjakan.

URAPAN PEMIMPIN
Sama seperti Musa membawa keluar bangsanya dari Mesir, demikian pula bagi para pemimpin akan mengalami pengurapan yang luar biasa. Musa hanya memiliki tongat ditangannya, dn itulah yang dipakai oleh Tuhan untuk mengadakan tanda ajaib. Untuk para pemimpin yang sudah dipilih Tuhan, tahun depan merupakan tahun kita, yang Tuhan mau ialah menyerahkan apa yang kita punya agar Tuhan memakainya luar biasa, tetapi ingat, di tanah peralihan ini, Musa gagal untuk masuk tanah perjanjian karena kesombongannya dihadapan bangsa Israel. Musa melanggar kekudusan Tuhan, itulah yang membuatnya gagal untuk masuk ke garis akhir dalam hidupnya. Urapan memang luar biasa, namun resiko atas kegagalan kita untuk mengendalikan urapan tersebut juga besar.

KESUAMAN & KEBUTAAN AKAN VISI
Keadaan kedepan bukan bertambah baik, namun kita sedang memasuki area berbahaya, tanpa tembok, tanpa perlindungan, kita bertenda di area terbuka yang sewaktu-waktu dapat mengalami serangan dari segala penjuru arah mata angin. Tetapi Tuhan berjanji akan menjadi tembok berapi bagi kita. Pada tahun 2011, akan terjadi banyak kesuaman akan Tuhan, kekecewaan hebat akan janji Tuhan yang masih saja belum terjadi, doa-doa yang belum terjawab akan membuat beberapa anak Tuhan mulai hambar. Semakin mereka hamba, semakin visi dari Tuhan tidak dinyatakan. Sama seperti imam Eli yang sudah mengalami kesulitan penglihatan, demikian pula yang akan terjadi pada diri umat Tuhan ditengah padang gurun.

BERSIAP UNTUK MEMASUKINYA
Dari kesemua hal diatas, yang Tuhan mau ialah ikuti kemana Tabut Tuhan/ hadirat Tuhan itu bergerak, jangan bergerak jika Dia diam, dan berjalanlah ketika Dia mulai bergerak. Keintiman akan menjadi hal paling penting dalam kehidupan kita, da itu yang akan membuat kita mencapai garis akhir, jangan kecewa, jangan putus asa, dan jangan membenci Tuhan karena apa yang kita inginkan belum tercapai, sebab waktunya sudah sangat singkat. *Hendri