Pendahuluan:
Pada tahun 1948, Alfred C. Kinsey menerbitkan bukunya berjudul Sexual Behavior and Human Male. Pada akhirnya Kinsey disebut sebagai The Father of Homosexual Revolution atau kadang hanya disebut The Father of Sexual Revolution.
Meskipun akurasi ilmiah tulisan Kinsey yang adalah seorang zoologist (ahli prilaku binatang) diragukan banyak kalangan ilmiah, namun gerakan revolusi seksual terlanjur mengubahkan budaya dunia menjadi budaya yang erotis.
Salah satu dampak dari revolusi seksual adalah anggapan bahwa Homoseks adalah suatu orientasi seksual yang normal, dan upaya untuk berubah dari orientasi homo menjadi hetero dianggap tidak mungkin, tidak manusiawi dan berbahaya bagi kondisi kejiwaan orang yang bersangkutan.
Anggapan-anggapan semacam ini telah menghalangi berbagai upaya scientific untuk menolong mereka yang ingin berubah, bahkan menghalangi pribadi-pribadi yang ingin berubah tersebut.
Otoritas Ilmiah Yang Sembrono:
Pada tahun 70-an, APA (American Psycological Association) menghapuskan kriteria Deviasi Sexual terhadap Homosexual dari semua terbitan ilmiahnya, maka semenjak saat itu semua calon dokter, psikolog, psikiater dididik dengan pemahaman bahwa prilaku homoseks adalah normal. Dampak dari hal ini ada dua, pertama para peneliti tidak lagi terdorong untuk meneliti upaya-upaya yang efektif untuk menolong mereka yang ingin berubah. Kedua, anggapan ini mematikan harapan mereka yang ingin berubah, sebab setiap kali mereka datang kepada dokter/ psikolog/ psikiater mereka akan mendapatkan advice bahwa kondisi mereka normal dan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menerima kondisi mereka dengan lapang dada.
Hypotesis Yang Tertutup:
Dengan sikap otoritas ilmiah seperti diatas maka riset-riset yang dilakukan sesudah itu cenderung diawali dengan suatu hypotesis yang mengatakan bahwa homoseks adalah normal, atau homoseks tidak mungkin diubah, maka tidak heran kalau kebanyakan “tulisan ilmiah” tentang homoseks cenderung “mendukung” sikap dari APA tersebut.
Kenyataan Klinis:
Dalam kenyataan klinis, ada cukup banyak orang dengan orientasi homoseks yang tidak nyaman dengan kondisinya karena alasan nilai-nilai moral atau religius yang dianutnya, dan berjuang untuk berubah.
Jumlah orang-orang yang BERHASIL mengalami perubahan dari orientasi homoseks menjadi heteroseks dari waktu ke waktu semakin banyak. Hal ini mengelitik dua Peneliti Senior dari Wheaton Collage , Illinois, USA yakni Stanton L. Jones, Proff. PhD and Mark A. Yarhouse, PhD untuk menelitinya.
Methodology Research:
Melakukan suatu research yang berlawanan dengan mainstream tidaklah mudah. Setelah meneliti berbagai metodologi riset yang mendapat hantaman dari APA (American Psychological Association) dan kelompok manstream yang lain, dua peneliti ini menentukan Methodology yang sangat kuat akurasinya dan tidak terbantahkan, yakni Prospective Longitudinal Study. Prospective artinya respondent yang akan diteliti sudah didata sebelum perubahan terjadi, lalu semua proses perubahan yang terjadi sesudah itu diikuti dari waktu ke waktu. Longitudinal berarti mencatat dalam waktu yang cukup lama apakah perubahan yang terjadi stabil. Dalam penelitian yang dibukukan dalam buku yang berjudul Ex-Gays? A Longitudinal Study of Religiously Mediated Change in Sexual Orientation yang diterbitkan oleh InterVarsity Press, dan di luncurkan pada tanggal 13 September 2007 ini, peneliti melakukan Interview terhadap para orang homoseks yang ingin berubah berdasarkan keyakinan moral atau religius mereka. Interview dan pencatatan dilakukan sebelum perubahan terjadi, lalu satu tahun serta setengah tahun kemudian, ditambah satu tahun serta setengah tahun kemudian. Jadi total waktu untuk setiap respondent adalah 3 tahun.
Hasil Yang Menjanjikan:
15 % dari respondent menunjukkan perubahan yang sangat bermakna, dimana mereka mengalami perubahan dari orientasi homoseks menjadi heteroseks, dan menyatakan bahwa mereka benar-benar mengalami pengalaman menjadi ”ciptaan baru”. Mereka ini menyatakan sangat berbahagia dengan pernikahan heteroseksual mereka dan menyatakan dapat berperan secara efektif sebagai pribadi dengan orientasi seks yang baru, yakni heteroseksual.
Temuan ini menyatakan bahwa postulat psikologi yang mengatakan Homoseks tidak mungkin berubah adalah SALAH BESAR. Bahwa ”hanya 15%” respondent yang mengalami berubahan secara dramatik ini, sangat mungkin diakibatkan oleh adanya informasi yang tidak akurat tapi terlanjur dipercaya oleh banyak orang, yang menyatakan bahwa homoseks tidak mungkin bisa berubah.
Disamping itu, masih ada 23 % dari mereka ini yang meskipun belum secara total terlepas dari ketertarikan homoseksual, namun mereka berhasil meninggalkan hubungan seks sejenis, dan membangun relasi yang penuh keintiman tanpa seks baik antar manusia, maupun relasi dengan Pencipta mereka. Jadi kalau di total jumlahnya mencapai 38 %, suatu angka yang sangat bermakna yang menunjukkan anggapan bahwa homoseks tidak mungkin berubah adalah SALAH BESAR.
Anggapan lain yang beredar dibanyak kalangan, bahwa upaya untuk mengalami berubahan dari homoseks menjadi heteroseks adalah berbahaya bagi kesehatan mental, terbukti TIDAK SEPENUHNYA BENAR. Peneliti mengatakan mungkin ada orang tertentu yang mengalami distress karena upaya perubahan yang ingin dilakukan, namun para respondent mereka ini menunjukkan kondisi kesehatan mental yang stabil meskipun mereka telah berhasil mengalami perubahan orientasi seksual dari homoseks menjadi heteroseks.
Implikasi Riset:
Saat nya institusi ilmiah yang punya otoritas seperti APA, dan organisasi ilmiah yang sejenis, atau organisasi kaum homoseks, membuka diri pada cakrawala baru, HOMOSEKS BISA DIUBAHKAN.
Sebab... ”...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17) From: Yada Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar