Rabu, 08 Oktober 2008

PROFESIONAL


Dalam buku Membangkitkan Roh Profesionalisme (Gramedia, 1999) telah saya tegaskan bahwa kata ‘profesi’ lebih tepat dipahami sebagai pekerjaan (kegiatan, aktivitas, atau usaha) yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan (kemahiran) yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Pada mulanya kata itu digunakan untuk segelintir orang yang menekuni bidang kedokteran, hukum, kerohanian, dan pendidikan. Namun belakangan penggunaannya menjadi semakin luas menerobos batas-batas pengertian konvensional itu. Hampir di semua bidang pekerjaan profesionalisme atau jiwa profesional dituntut dan diharapkan. Dan segala perilaku dan praktik kerja yang tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman disebut sebagai tidak atau kurang profesional.
Dalam karya yang sama telah pula saya paparkan perbedaan makna ‘pekerjaan’ atau okupasi dan karier. Intinya, sebuah pekerjaan hanya dapat disebut sebagai karier apabila pekerjaan itu memberikan kesempatan untuk bergerak maju (carrus, Latin). Dan dalam hubungannya dengan kata ‘profesi’, kaum profesional pastilah memiliki karier, tetapi seseorang yang memiliki karier belum tentu profesional. Sebab mereka yang memiliki karier berarti berpeluang untuk maju, sementara profesional diharuskan untuk maju atau memanfaatkan peluang itu secara nyata.
Tingkat kemahiran yang tinggi dan komitmen moral yang mendalam merupakan dua ciri utama dari kaum profesional. Dan hal ini tidak mungkin diperoleh hanya dengan belajar di lembaga-lembaga pengajaran formal (sekolah dan universitas). Diperlukan sejumlah ‘jam terbang’ atau praktik lapangan seperti seorang calon pilot harus terbang tandem lebih dulu sebelum diijinkan terbang solo, atau seorang calon dokter, calon pengacara, calon hakim, dan kandidat notaris/PPAT yang harus magang terlebih dulu sebelum diangkat dengan sumpah jabatan menjadi profesional di bidangnya. Praktik magang atau tandem ini dalam rangka memastikan bahwa yang bersangkutan telah diyakini memiliki tingkat kemahiran di atas rata-rata sehingga kelak dapat diandalkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara mandiri, tanpa pengawasan langsung dari orang lain (supervisor).
Ada pun soal komitmen moral kaum profesional ini ‘dipelihara’ oleh dewan kode etik yang terus menerus ‘memonitor’ praktik-praktik kerja yang bersangkutan. Dan bila yang bersangkutan melanggar kode etik kaum profesinya, maka ia dapat ditegur, diberi peringatan tertulis, bahkan sampai dipecat atau dikeluarkan dari profesinya itu. Artinya, dewan kode etik yang beranggotakan pakar-pakar di bidang profesi tersebut, diberi kewenangan untuk menilai dan memberikan sanksi etis kepada kolega mereka yang mencemarkan nama baik profesi-profesi mulia itu.
Idealnya, sanksi etis ini kemudian diikuti oleh sanksi hukum, yang membuat profesional yang melanggar kode etik profesinya dapat dijatuhkan hukuman pidana (penjara) maupun perdata (denda). Sayangnya di tanah air tercinta ini soal-soal etika dan hukum sudah sedemikian porak poranda oleh praktik-praktik mafioso berbeking pejabat dan aparat bersenjata yang dimanjakan oleh Orde Baru. Dengan demikian antara idealisme dengan realitas faktual terdapat gap yang amat lebar.[aha]
*Andrias Harefa adalah seorang writer, trainer, dan speaker, serta penulis 31 buku laris. Ia dapat dihubungi di email: aharefa@cbn.net.id.

Tidak ada komentar: