Pada acara workshop penulisan yang diselenggarakan oleh Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) pertengahan Juni 2007 lalu, saya kembali mendengar suatu komentar spontan dan sederhana dari salah seorang peserta, “Ah, kalau menulis seperti itu sih aku juga bisa. Bahkan, mungkin aku bisa menulis yang lebih bagus, gitu lho!”
Saat saya mewawancarai Ade Kumalasari, seorang penulis novel-novel teenlit (baca di rubrik Wawancara Pembelajar.com), saya juga mendapatkan kalimat-kalimat yang kurang lebih sama. Ketika membaca novel-novel remaja yang tampak sederhana dan populer, muncul perasaan “Kalau cuman begini, saya juga bisa!” dalam benak penulis ini. Ternyata, perasaan itu justru memacu Ade untuk belajar menulis novel sejenis dan kemudian terbukti sejumlah novel berhasil dia terbitkan.
Sesungguhnya, saya sudah seringkali mendengar ungkapan perasaan “Saya juga bisa!” itu dari sekian banyak orang, termasuk sahabat-sahabat wartawan, penulis, pembaca seri artikel saya, juga klien-klien yang pernah saya tangani.
Bahkan, saya pun teramat sering mendengar ungkapan itu dari sebuah “sumber” yang teramat sangat dekat dengan diri saya. Sumber itu tak lain adalah suara hati saya sendiri. Setiap kali saya membaca buku-buku yang berhasil di pasaran, saya selalu mendengar bisikan hati, “Ah, kalau cuman begini aku juga bisa....”
Saya kira, kita semua mungkin pernah sekali dua kali merasakan hal yang sama. Mungkin juga, sebagian dari kita malah begitu digelayuti oleh perasaan serupa, manakala kita temukan sebuah karya yang mengusik perhatian. Terlebih bila kita merasa bahwa pengalaman, kompetensi, dan keahlian kita di bidang tertentu itu, “seharusnya” bisa menandingi atau bahkan mengalahkan keunggulan karya tersebut.
Perasaan “Saya juga bisa!” ini tumbuh liar saat saya masih mahasiswa. Semakin “jelek” sebuah karya yang saya kritisi (pastinya menurut penilaian subjektif saya), semakin kuat pula perasaan bahwa saya bisa membuat karya yang lebih baik. Hanya saja, praktiknya saya tidak berbuat apa-apa untuk menandingi karya yang saya kritisi.
Baru belakangan ini saja saya merasakan betapa perasaan “negatif” tersebut aslinya mempunyai daya dorong yang luar biasa. Ya, ketika perasaan “Saya juga bisa!” itu saya lanjuti dengan membuat karya—yang dibelit oleh obsesi menjadi lebih baik dari yang sudah ada—maka saya merasa telah menjawab sesuatu. Tidak peduli apakah secara objektif karya yang saya lahirkan itu lebih baik atau justru lebih jelek, yang penting tantangan harus dijawab dulu.
Latihan memang membuat kita matang. Praktik terus-menerus bisa menyempurnakan keahlian. Itu juga berlaku di dunia penulisan. Ketika saya mulai bisa bergerak atau termotivasi oleh perasaan “bisa”, dan saya lanjuti dengan tindakan sekali dua kali atau bahkan berkali-kali, maka saya benar-benar jadi “bisa” juga akhirnya. Saat saya mencapai titik “bisa” ini, maka kenikmatannya memang tak terlukiskan. Ini bisa memacu motivasi lebih besar lagi.
Meskipun tidak tampak di permukaan, namun saya yakin tak sedikit di antara kita yang mampu melakukan sesuatu yang luar biasa berawal dari perasaan “Saya juga bisa!”. Namun, tak sedikit pula dari kita yang hanya berhenti pada perasaan itu, dan kembali merasa “tersinggung” manakala ada karya-karya yang mendahului pencapaian kita. terlebih bila karya-karya itu lahir dari orang yang kita anggap tidak “selevel” dengan kita.
Namun, saya mengajak Anda semua para pembelajar sejati, untuk terus mengundang perasaan “Saya juga bisa!”. Tapi, jangan berhenti di situ saja. Ambil selangkah dua langkah konkret untuk menghasilkan sesuatu. Singkirkan sejenak ego-ego yang tidak memberikan kontribusi bagi lahirnya sesuatu yang berarti. Sebaliknya, paksa ego-ego positif yang bisa memacu kita untuk unjuk karya. Tulisan adalah ajang unjuk karya yang luar biasa.
Sekecil apa pun langkah kita, sepanjang itu merupakan buah dari proses kreatif, maka itu pasti punya makna. Lupakan penilaian orang luar terlebih dulu. Tempatkan perasaan menghargai karya sendiri di posisi teratas. Sesudah itu memberikan motivasi dalam diri, mulailah berani memasuki ranah publik. Di sanalah penilaian yang objektif dan subjektif akan bertarung, dan dari sana pula pembelajaran berlangsung. Di medan pembelajaran itulah kita akan menjadi dewasa, secara mental dan karya.
Makanya, selama perasaan “Saya juga bisa!” hadir dalam diri Anda, saya tantang Anda semua untuk terus-menerus unjuk karya. Penuhi ranah publik ini dengan gagasan-gagasan orisinal dan karya-karya Anda. Manakala Anda berhasil berkarya, tularkan semangat Anda kepada siapa pun yang bergaul dengan Anda. Jadikan diri Anda sebagai agen-agen penggerak bagi lahirnya karya-karya kreatif. Ingat, poros penggerak dunia ini adalah orang-orang yang terus aktif berkarya dengan passion yang luar biasa. Dan, Anda adalah salah satunya![ez]
* Edy Zaqeus adalah editor Pembelajar.com, penulis buku-buku best-seller, penerbit buku, trainer Sekolah Penulis Pembelajar, dan konsultan penerbitan. Ia mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang melahirkan buku-buku laris. Ia juga telah membantu banyak klien dalam melahirkan buku-buku bestseller dan mendirikan penerbitan mandiri. Kunjungi blog Edy di: http://ezonwriting.wordpress.com atau email: edzaqeus@yahoo.com.
Saat saya mewawancarai Ade Kumalasari, seorang penulis novel-novel teenlit (baca di rubrik Wawancara Pembelajar.com), saya juga mendapatkan kalimat-kalimat yang kurang lebih sama. Ketika membaca novel-novel remaja yang tampak sederhana dan populer, muncul perasaan “Kalau cuman begini, saya juga bisa!” dalam benak penulis ini. Ternyata, perasaan itu justru memacu Ade untuk belajar menulis novel sejenis dan kemudian terbukti sejumlah novel berhasil dia terbitkan.
Sesungguhnya, saya sudah seringkali mendengar ungkapan perasaan “Saya juga bisa!” itu dari sekian banyak orang, termasuk sahabat-sahabat wartawan, penulis, pembaca seri artikel saya, juga klien-klien yang pernah saya tangani.
Bahkan, saya pun teramat sering mendengar ungkapan itu dari sebuah “sumber” yang teramat sangat dekat dengan diri saya. Sumber itu tak lain adalah suara hati saya sendiri. Setiap kali saya membaca buku-buku yang berhasil di pasaran, saya selalu mendengar bisikan hati, “Ah, kalau cuman begini aku juga bisa....”
Saya kira, kita semua mungkin pernah sekali dua kali merasakan hal yang sama. Mungkin juga, sebagian dari kita malah begitu digelayuti oleh perasaan serupa, manakala kita temukan sebuah karya yang mengusik perhatian. Terlebih bila kita merasa bahwa pengalaman, kompetensi, dan keahlian kita di bidang tertentu itu, “seharusnya” bisa menandingi atau bahkan mengalahkan keunggulan karya tersebut.
Perasaan “Saya juga bisa!” ini tumbuh liar saat saya masih mahasiswa. Semakin “jelek” sebuah karya yang saya kritisi (pastinya menurut penilaian subjektif saya), semakin kuat pula perasaan bahwa saya bisa membuat karya yang lebih baik. Hanya saja, praktiknya saya tidak berbuat apa-apa untuk menandingi karya yang saya kritisi.
Baru belakangan ini saja saya merasakan betapa perasaan “negatif” tersebut aslinya mempunyai daya dorong yang luar biasa. Ya, ketika perasaan “Saya juga bisa!” itu saya lanjuti dengan membuat karya—yang dibelit oleh obsesi menjadi lebih baik dari yang sudah ada—maka saya merasa telah menjawab sesuatu. Tidak peduli apakah secara objektif karya yang saya lahirkan itu lebih baik atau justru lebih jelek, yang penting tantangan harus dijawab dulu.
Latihan memang membuat kita matang. Praktik terus-menerus bisa menyempurnakan keahlian. Itu juga berlaku di dunia penulisan. Ketika saya mulai bisa bergerak atau termotivasi oleh perasaan “bisa”, dan saya lanjuti dengan tindakan sekali dua kali atau bahkan berkali-kali, maka saya benar-benar jadi “bisa” juga akhirnya. Saat saya mencapai titik “bisa” ini, maka kenikmatannya memang tak terlukiskan. Ini bisa memacu motivasi lebih besar lagi.
Meskipun tidak tampak di permukaan, namun saya yakin tak sedikit di antara kita yang mampu melakukan sesuatu yang luar biasa berawal dari perasaan “Saya juga bisa!”. Namun, tak sedikit pula dari kita yang hanya berhenti pada perasaan itu, dan kembali merasa “tersinggung” manakala ada karya-karya yang mendahului pencapaian kita. terlebih bila karya-karya itu lahir dari orang yang kita anggap tidak “selevel” dengan kita.
Namun, saya mengajak Anda semua para pembelajar sejati, untuk terus mengundang perasaan “Saya juga bisa!”. Tapi, jangan berhenti di situ saja. Ambil selangkah dua langkah konkret untuk menghasilkan sesuatu. Singkirkan sejenak ego-ego yang tidak memberikan kontribusi bagi lahirnya sesuatu yang berarti. Sebaliknya, paksa ego-ego positif yang bisa memacu kita untuk unjuk karya. Tulisan adalah ajang unjuk karya yang luar biasa.
Sekecil apa pun langkah kita, sepanjang itu merupakan buah dari proses kreatif, maka itu pasti punya makna. Lupakan penilaian orang luar terlebih dulu. Tempatkan perasaan menghargai karya sendiri di posisi teratas. Sesudah itu memberikan motivasi dalam diri, mulailah berani memasuki ranah publik. Di sanalah penilaian yang objektif dan subjektif akan bertarung, dan dari sana pula pembelajaran berlangsung. Di medan pembelajaran itulah kita akan menjadi dewasa, secara mental dan karya.
Makanya, selama perasaan “Saya juga bisa!” hadir dalam diri Anda, saya tantang Anda semua untuk terus-menerus unjuk karya. Penuhi ranah publik ini dengan gagasan-gagasan orisinal dan karya-karya Anda. Manakala Anda berhasil berkarya, tularkan semangat Anda kepada siapa pun yang bergaul dengan Anda. Jadikan diri Anda sebagai agen-agen penggerak bagi lahirnya karya-karya kreatif. Ingat, poros penggerak dunia ini adalah orang-orang yang terus aktif berkarya dengan passion yang luar biasa. Dan, Anda adalah salah satunya![ez]
* Edy Zaqeus adalah editor Pembelajar.com, penulis buku-buku best-seller, penerbit buku, trainer Sekolah Penulis Pembelajar, dan konsultan penerbitan. Ia mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang melahirkan buku-buku laris. Ia juga telah membantu banyak klien dalam melahirkan buku-buku bestseller dan mendirikan penerbitan mandiri. Kunjungi blog Edy di: http://ezonwriting.wordpress.com atau email: edzaqeus@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar