Tiba di Oxford, Inggris pada pertengahan September lalu udara dingin menyambut saya. Di kota ini masih banyak —dan betul-betul di dilestarikan—bangunan-bangunan tua yang kokoh dengan arsitektur zaman pertengahan. Universitas Oxford adalah identitas lain yang menjulangkan nama kota ini di dunia. Ada sebuah peristiwa kecil yang unik ten-tang perpustakaan. Sebelum menerima kartu perpustakaan, semua anggota harus bersumpah—teks sudah disediakan dari berbagai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Indonesia—untuk tidak akan merusak, membakar, dan mencuri buku-buku milik perpustakaan. Sumpah ini dilakukan karena dalam sejarah pernah terjadi pembakaran terhadap perpustakaan Oxford yang menghanguskan ribuan judul buku dan manuskrip. Kini Oxford memiliki koleksi buku dan dokumentasi paling besar di dunia dengan 12 juta judul buku. Di Oxford juga banyak bangunan gereja, bahkan yang berusia 700 tahun. Dari arsitektur-arsitektur yang ada saya dapat membayangkan kemajuan peradaban telah melanda negara itu ratusan tahun lampau, saat barangkali kita di Indonesia masih telanjang. Pada gereja-gereja tua itu terdapat nama-nama, lengkap dengan tahun kematian mereka. Tampaknya didedikasikan bagi orang-orang yang melayani atau tokoh tertentu.
Gereja-gereja Kian Kosong
Kali ini saya menyaksikan sendiri gereja-gereja yang kian kosong dan berubah fungsi jadi klub malam, masjid, bar, perpustakaan, sekolah, bahkan menjadi kuil agama Sheikh. Di Kota Sheffield sebuah gereja beraliran Anglikan yang tak bertuan lagi ”diselamatkan” oleh orang-orang China yang cinta Tuhan dan mengubahnya menjadi gereja mereka. Melihat gereja-gereja yang kosong dan sudah berubah fungsi ini Roh Kudus berbisik di hati saya, “Lihat bangunan ini saksi bisu dari Spiritual Death of Europe!” Saya terkejut dengan bisikan itu. Saya bertanya ke mana semua manusia yang pernah mempunyai bapak, ibu, nenek, kakek Kristen, yang beribadah di gereja itu? Pada gereja-gereja yang bangunannya menjulang tinggi dan besar itu saya membayangkan daya tampungnya. “Pasti bisa masuk sekitar 1.000 orang,” batin saya. Satu ketika saya menginap di keluarga “Indonesia” di London. Sang suami sudah menjadi warga negara Belanda sementara istrinya telah menjadi warga Amerika. Kami berdis-kusi tentang kekristenan di Inggris. Kami mempunyai keprihatinan yang sama tentang kehidupan rohani orang Inggris. Banyak di antara mereka menganggap bahwa gereja sudah tidak relevan lagi. Hari Minggu adalah waktu yang santai di rumah dan pergi shopping. Apakah itu artinya mereka sudah jadi ateis? Tentu ada, tapi pasti tidak semua. Banyak orang Eropa yang tidak ke gereja lagi walaupun mereka masih mengakui Tuhan. Mereka menganggap gereja mengajarkan banyak mitos yang berisi dogma dan kebohongan-kebohongan lain. Satu ketika dalam perjalanan kereta api London–Oxford, saya berkenalan dengan seorang Inggris yang naik dari kota Reading. Dia bertanya dalam rangka apa saya berada di Oxford? Saya bilang studi Misi. Di telinganya kata ”misi” sangat aneh. Ia minta saya mengulangi lagi kata itu. Lalu saya terangkan peker-jaan saya sebagai rohaniwan yang sedang studi Misi Kristen di Inggris. Ia minta lagi diterangkan Misi Kristen itu apa? Setelah berbincang-bincang saya tahu ia seorang yang skeptis terhadap agama, apalagi agama Kristen. Ia mengatakan setiap saat ia berdoa. “Berdoa kepada siapa?” tanya saya. “Well, berdoa kepada Sesuatu yang Maha...,” begitu komentarnya. Ia mempunyai Alkitab, tapi tak tertarik membacanya dan dianggap banyak mitos. Ia mengkritik kekristen-an sebagai agama “yang tak tahu diri”, dan sok suci padahal dalam sejarah membunuh orang yang mengatakan kebenaran sains. Belakangan gereja mengakui kebenaran sains itu. Ia lebih mempercayai teori big bang dan teori Darwin. Ia juga berkisah, katanya dulu orangtuanya pernah ke gereja, tapi sudah berhenti ke gereja sejak ia masih kecil. Saya berusaha menginjilinya. Saya mencoba meyakinkan dia bahwa kalau ada sesuatu hal yang salah yang pernah gereja lakukan bukan berarti kebenaran yang sesungguhnya menjadi terbantahkan. Dengan berbagai cara saya memberitakan siapa Kristus Yesus, baik dengan pendekatan filosofis, Alkitab dan pragmatis-empiris. Ia cuma cengegesan dan menganggap saya belum tahu apa-apa. Ia bilang, dengan pekerjaannya sekarang sebagai pembuat video games, dapat menghibur orang di seluruh dunia. Itu cukup membuat hidupnya “bermakna.”
Mengapa Kekristenan Mati
Saya coba menganalisa mengapa masyarakat di negara-negara Eropa–meski pun tidak semua–meninggalkan Kekristenan. Pertama, pengaruh sekulerisme di mana globalisasi telah membuat kehidupan di berbagai bidang makin mapan. Kemudahan-kemudahan dalam segala aspek membuat kerinduan orang akan Tuhan dan persekutuan dengan gereja-Nya tidak lagi begitu mengebu-gebu. Kedua, teologia yang tidak lagi berlandaskan iman pada Alkitab dan kepada Tuhan Yesus Kristus. Para pendeta yang ditahbiskan di gereja-gereja itu adalah lulusan dari sekolah-sekolah teologi yang tidak lagi beriman kepada Alkitab sebagai firman Allah. Penelitian terhadap Yesus Sejarah telah membuat banyak orang di Barat menganggap bahwa gereja selama ini telah merekonstruksi Yesus secara “salah.” Menurut mereka Yesus bukan Tuhan dan Juruselamat. Ketiga, adalah gagalnya gereja-gereja memuridkan jemaat untuk memiliki hubungan yang kuat dengan Juruse-lamatnya. Gereja hanya mementingkan organisasi dan dogma yang kaku. Alkitab hanya didekati secara metodologis dogmatis semata. Padahal juga adalah serangkaian kesaksian hidup perjumpaan dan perjalanan bersama Tuhan yang bangkit, dan yang masih mempunyai kesinambungan dengan kehidupan iman masa kini. Roh Kudus yang menyambungkan mata rantai pengalaman dan kesaksian zaman Alkitab dengan kehidupan masa kini gagal dilihat dan dialami. Hilangnya pengalaman akan Roh Kudus yang dinamis itu membuat orang lebih suka berspekulasi dan meletakkan iman mereka kepada apa yang disebut “penemuan”. Tetapi apa yang para penganut teologi kritis (high criticism) temukan sebenarnya bukan penemuan, karena sejak zaman Tuhan Yesus, dan pada gereja mula-mula sudah banyak usaha untuk mematikan kesaksian itu dan secara politis, orang-orang skeptis berusaha untuk mengkondisikan penyangkalan akan Kristus yang bangkit. Teologi para skeptis ini melihat perwujudan Kerajaan Allah dari aspek sosial dan transformasi fisik belaka. Gerak Roh Kudus dibatasi, lebih digairahkan untuk mempercayai dogma-dogma yang bersifat filosofis. Perhatikanlah orang-orang yang “terhilang” tersebut, pasti pada umumnya orang-orang yang frustasi dan yang tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Roh Kudus. Mereka lebih mencintai hikmat dunia ini. Orang yang punya hubungan kuat dengan Roh Kudus bukan berarti orang yang tidak mementingkan pengetahuan teologi dan filsafat. Banyak orang jenius yang begitu committed dalam imannya dan tak terpengaruh menjadi liar. Teladan daniel Tuhan Yesus sudah ribuan tahun yang lalu memperingatkan bahwa jika orang-orang yang menyebut dirinya sebagai umat Allah itu tidak lagi menyembah Dia, Ia sanggup membangkitkan batu-batu untuk menyembah-Nya. Artinya, Tuhan tidak menyayangkan generasi yang menolak Dia. Ia tidak kurang kemuliaan hanya karena orang-orang meninggalkan Tuhan (dan sebagai konsekuensinya meninggalkan gereja). Ia tetap membangkitkan generasi-generasi yang berkomitmen kepada ke-Tuhanan-Nya serta kebenaran Alkitab. Itu sebabnya orang-orang tulus dan polos ini—yang bangkit dari negara-negara Afrika dan Asia pada umumnya—menjadi tanah yang subur bagi lawatan Roh Kudus. Teologi harus terus lurus dan berlandaskan Alkitab sebagai firman Allah. Setiap orang yang mencintai hikmat, harus merenungkan kisah Daniel. Daniel seorang yang mendapat pendidikan tinggi di Babel. Ia bahkan “dipaksa” menjadi orang Babel dengan mengganti namanya. Ia mempelajari kesusastraan Babel. Penguasa Babel coba mencuci otak Daniel dan kawan-kawannya. Namun, Alkitab menegaskan bahwa Daniel tidak menajiskan dirinya dengan apa yang di-makan, dipikirkan, dihidupi dan diimani oleh orang Babel. Gereja di Indonesia harus merenungkan kenyataan ini!
from : Junifrius GultomPenulis sedang studi PhD di Universitas Oxford, Inggris. ( majalah Bahana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar