Kamis, 03 Januari 2008

MANUSIA BERKARAKTER


“Bersukacitalah dalam TUHAN dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!”~ Raja Daud


“Bohong itu… Bohong itu..,” seru seorang bocah yang duduk di bangku belakang saat mendengar sang pendeta berkhotbah dengan sangat berapi-api. Seorang bapak yang duduk di sebelah bocah mencoba menenangkan sang bocah namun tidak juga berhasil. Beberapa saat kemudian, sang bocah kembali berseru, ”Ah... bohong itu... Bohong itu.”
Kali ini, sang bapak tadi merasa gerah. Sang bocah dianggap mengganggu jalannya kebaktian. ”Nak, apakah kamu memang tidak bisa diam. Dari tadi kok ribut terus?” tanya sang bapak. Dengan wajah polos, sang bocah menjawab, ”Itu kan papi saya makanya saya tahu itu bohong.”
Bisa jadi kita akan tersenyum atau tertawa membaca cerita di atas namun kalau mau jujur bukankah kita kerap juga seperti itu? Bukankah tindakan kita tidak selalu selaras dengan apa yang kita katakan? Kita kerap kurang menyadari kalau tindakan kita akan berbicara jauh lebih keras daripada apa yang kita katakan.
Beberapa waktu lalu, seorang pastor bercerita tentang seorang siswa sekolah dasar yang tertangkap basah mencuri duit temannya. Oleh kepala sekolah, siswa ini dibawa kepada seorang pastor untuk diberikan nasihat. ”Betul kamu mencuri duit temanmu?” tanya sang pastor. Tanpa sedikit pun merasa bersalah, siswa ini menjawab, ”Benar sekali, pastor!”
Penuh rasa penasaran, sang pastor kembali bertanya, ”Mengapa kamu mencuri duit temanmu?” Secara spontan, siswa ini langsung menjawab, ”Karena mami sering mencuri duit papi!” Cerita ini semakin menyadarkan kita pentingnya hidup berkarakter, terutama jika kita memiiki posisi kepemimpinan atau telah menjadi orang tua. Guru kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell kerap mengatakan kalau orang akan melakukan apa yang dilihatnya (people do what people see).
Sebuah penelitian ilmiah mengungkapkan kalau manusia belajar 89 persen dari apa yang dilihatnya, 10 persen dari apa yang didengarnya dan hanya 1 persen dari indra lainnya. ”Itulah sebabnya, kalau saya tanyakan apa yang dikhotbahkan pendeta beberapa pekan silam, Anda pasti lupa, namun jika saya tanya bagaimana kelakukannya, Anda pasti ingat,” kata seorang teman saya.
Menjadi orang yang berkarakter terkadang menjadi hal yang gampang-gampang susah. Karakter seseorang yang paling asli seringkali justru terungkap pada masa-masa sulit atau masa-masa penuh kekuasaan. Dengan jelas kita bisa melihat begitu banyak pemimpin yang jatuh karena faktor kegagalan karakter, misalnya tidak menepati janji, memanfaatkan jabatan untuk kepentingan diri sendiri hingga memanipulasi segala sesuatu dengan kekuasannya.
Kita juga harus menyadari kalau karakter yang kuat tidak bisa dibangun dalam semalam. Ia membutuhkan sebuah proses panjang dan terkadang pengorbanan sangat besar. Ketika kita cenderung mengkompromikan nilai-nilai luhur, seringkali pada saat itu karakter kita mulai luntur.
Membangun karakter dapat kita mulai dari tindakan-tindakan kecil. Misalnya, tepat waktu, tepat janji, melakukan apa yang kita katakan, berani berkata ”tidak” untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani kita, berani mengakui kesalahan dan minta maaf, mengembalikan uang kembalian yang lebih atau kembali ke kasir untuk melaporkan barang belanjaan yang belum masuk dalam hitungan. Sikap seperti ini akan membentuk kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi karakter kita. Semoga!

Tidak ada komentar: