Selasa, 26 Mei 2009

At The End

The end of a thing is better than the beginning thereof. The problem is no one knows when the end comes; we only know when to start and restart, even until the end of our time.Memperkenalkan diri adalah hal lazim dalam pertemuan pertama dengan para peserta yang tidak kita kenal dan tidak mengenal kita. Ini mengikuti saran bijak “tak kenal maka tak sayang”. Agar dikenal dan disayang, perkenalan sering diisi dengan informasi tentang serangkaian prestasi dan kompetensi yang diharapkan bisa melekat di pikiran para peserta.
Walau harus dilakukan secara singkat, karena bukan forum yang membahas biografi, perkenalan ini sering membuat brand atas identitas presentatornya. Kelihatannya mudah, tapi sebenarnya memiliki peran penting untuk dikenal dengan tingkat akseptasi yang tinggi. Itu sebabnya, persiapan sangat penting untuk memperkenalkan siapa kita hanya dalam hitungan waktu kurang dari satu menit, termasuk memaparkan prestasi kerja yang sudah menumpuk selama puluhan tahun. Bukan pekerjaan mudah, karenanya perlu dipersiapkan dengan seksama untuk waktu yang sesingkat-singkatnya.
Demikian pula sahabat saya. Begini gayanya ketika memperkenalkan diri dalam rapat yang juga saya ikuti. “Saya sudah berkarier sekian tahun di perusahaan ini. Dimulai dari bidang ini selama sekian tahun, lalu dipindahkan lagi ke perusahaan ini selama sekian tahun, lalu kembali lagi ke perusahaan induk dan menduduki bidang baru ini selama sekian tahun. At the end, saya ditunjuk menjadi pemimpin bidang ini dan itu di perusahaan baru yang akan saya presentasikan hari ini.”
Pada kata-kata “at the end” inilah saya melakukan interupsi. Tidak terpikirkan sebelumnya, tapi langsung terlintas di pikiran. “Not at the end, it’s a beginning,” kata saya tanpa bermaksud berfilosofi soal bahasa dan makna. Semua tertawa. Salah satu pemimpin ikut bergumam, “You always can pick the right word.” Saya pun tertawa.
Malam itu, saya merenungkan kata-kata “at the end”. Mengapa saya tadi tanpa sadar menginterusi kalimat biasa, yang sudah sering saya dengar, dalam pertemuan penting. Saya tahu, interupsi itu tak ada maknanya bagi pertemuan itu.
Dalam permenungan selama beberapa hari, saya menemukan tiga hal penting mengapa kita sebaiknya jangan pernah mengatakan “at the end” dalam konteks karier, kompetensi dan kinerja (3K) yang sedang dikerjakan.
Pertama, at the end bisa dikonotasikan sebagai karier mentok (K1). Ini menunjukkan kondisi suatu persepsi diri bahwa jabatan baru yang baru saja kita duduki adalah kotak terakhir sebelum kita meninggalkan perusahaan tercinta. Persinggahan terakhir yang juga bisa berkonotasi sebagai pangkat terakhir. Dalam bahasa sekenanya itu berarti kita mengaminkan karier mentok pada jabatan sebelum pensiun. Suatu penjara pikiran bahwa ini adalah jabatan untuk menuju ke titik alumni. Jabatan ucapan terima kasih atas karier yang selama ini ditekuni.
Kedua, at the end juga bisa berkonotasi sebagai keadaan level of incompetence atau bisa disebut sebagai kompetensi mentok (K2). Tidak bisa dikembangkan lagi. Dalam bahasa praktisi SDM, manusia yang berada pada potensi rendah dan prestasi rendah. Posisi pada matriks kuadran keempat ini dijuluki sebagai dead wood.
Bagi praktisi SDM, manusia yang sudah dikategorikan sebagai golongan dead wood berarti at the end akan terjadi pemutusan hubungan kerja baik formal maupun informal. Padahal, kenyataannya manusia tidak bisa dimasukkan dalam kotak-kotak matriks bila yang bersangkutan mengerti bahwa ia tak mau memasuki daerah kompetensi at the end.
Banyak pengalaman membuktikan bahwa dead wood terjadi karena ketidaksesuaian dengan lingkungan. Manusia yang dianggap biasa saja di suatu perusahaan ketika pindah karier mendadak menjadi bintang di perusahaan lain, bahkan menjadi CEO perusahaan besar. Bukankah kita sering terperangah ketika membolak-balik catatan tentang kompetensi seseorang? Yang dikatakan bintang menjadi pecundang dan yang dikatakan tak berkompeten justru menjadi pengusaha sukses?
Ketiga, at the end berkonotasi sebagai kinerja mentok (K3). Kegagalan dan kesuksesan sering diasosiasikan sebagai kondisi pada suatu titik dalam garis waktu yang panjang. Padahal, hasil hari ini – baik itu dikatakan berhasil atau gagal – memiliki nilai relatif dalam kuantum waktu dalam garis umur yang diberikan Tuhan kepada kita. Tidak boleh pongah kalau dalam suatu upaya kita mencapai target dan tidak boleh lemah tatkala hasil tidak sesuai dengan ekspektasi kita.
Contoh klasik yang sering dijadikan rujukan adalah keberanian mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter untuk mengubah at the end menjadi at the beginning. Walau ia tak sepopuler Presiden Bill Clinton atau Presiden Ronald Reagan, bahkan boleh dikatakan bukan presiden yang berhasil memperoleh dua kali jabatan, ia tidak menganggap ia berhenti untuk sekadar menjadi mantan. Ia berhasil membangun citra diri menjadi pemimpin yang gerah melihat ketidakdemokratisan di banyak negara.
Carter Centre dibangun. Sekarang sudah menjadi clearing house bagi pengamat pemilu di negara-negara berkembang. Ia berhasil menorehkan sejarah baru. Tak mengherankan, banyak orang berkata bahwa Carter lebih terkenal setelah jadi mantan dibandingkan dengan sewaktu menjabat sebagai presiden. Dan itu dimulai pada usia yang sering dikatakan sebagai lansia (lanjut usia) atau usia senja. Bagi Carter, usia senja itu diubah menjadi usia indah.
Langkah ini yang seharusnya menjadi panutan kita. Secara konseptual dalam hukum pemaknaan, tidak boleh ada kata-kata “at the end” yang bermuara pada ketiga paradigma di atas. Tidak boleh ada kamus posisi atau karier mentok, kompetensi mentok, dan kinerja mentok. Selalu ada kesempatan baru yang bisa diraih. Selalu ada harapan baru yang masih bisa direnda pada kesempatan berikutnya. Tomorrow is another day. There will always new opportunities. Tidak ada yang mampu membatasi kita dengan kata-kata ”at the end”.
Karenanya, jangan pernah menyerah pada kondisi. Selalu ada new beginning di setiap pagi karena anugerah Tuhan selalu baru setiap pagi. Selamat datang new beginning. Let’s start again. It’s a new beginning. (Bambang WS)

Tidak ada komentar: