Selasa, 26 Mei 2009

Kue Jepang dan Wingko Babat

“Take no thought for your life, what you shall eat or drink; nor yet for your body, what you shall put on. Is not the life more than meat, and the body than raiment?”Hampir setiap kali melewati deretan toko penjual Japanese cookies di Bandara Narita, tangan selalu tak kuasa melawan dorongan mata. Setidaknya keluarlah dari dompet 3.000 yen untuk tiga bungkus kue yang sangat menawan. Sangat sayang untuk dikonsumsi dan lebih cocok dijadikan hiasan. Sesampainya di rumah, ada dorongan untuk mencicipi satu per satu. Sehari cukup satu. Yang lainnya dipandang dulu, lalu dikonsumsi pada hari kedua dan ketiga.
Kejadian yang sama terjadi ketika saya berkesempatan pulang kampung. Setiap kali meninggalkan Bandara Ahmad Yani, selalu ada waktu untuk membeli satu besek wingko babat baru yang masih hangat. Sederhana bungkus dan desain luarnya. Sesampainya di rumah, langsung disantap dengan lahap. Jarang sekali saya berhenti hanya dengan satu buah, setidaknya dua buah untuk memendam kerinduan yang mendalam. Sepuluh bungkus habis dalam bilangan jam untuk keluarga berjumlah lima orang. Hampir tak pernah ada sisa buat sore, apalagi keesokan harinya. Rasanya terlalu enak untuk hanya dipandang dan disimpan.
Bagi orang Jepang, menyajikan makanan bukanlah sekadar cara untuk memuaskan perut. Rasa bukanlah segalanya. Mereka menganggapnya sebagai suatu karya seni. Penataan yang apik, desain yang menarik, bentuk yang unik, warna yang membuat air liur keluar tak tertahankan adalah sebuah seni. Tidak mengherankan, banyak orang yang masih menyimpan pembungkusnya ketika isinya sudah habis dilahap. Bungkus dan isi adalah karya seni. Keindahan tampilan luar lebih utama dibandingkan dengan rasa. Packaging over substance.
Bagi orang Semarang, pembungkus adalah pembungkus. Kalau bisa dibuat sederhana dan murah, kenapa mesti menggunakan bahan yang mahal? Beseknya pun biasa. Kertas karton membuat produk jadi mahal. Merek dan label hanya tempelan dengan lem kanji, sekadar sebagai pembeda bahwa wingko babat ini buatan pabrik yang ini, bukan yang itu. Yang penting, rasanya. Substance over packaging.
Bagi saya, itulah dua sifat ekstrem manusia. Ada yang sangat memperhatikan hal lahiriah dan ada pula yang melulu fokus pada aspek batiniah. Ada yang sibuk bersolek di luar, ada yang hanya memperhatikan hal yang di dalam. Keduanya bagai langit dan bumi, timur dan barat. Orientasinya sangat berbeda.
Pemimpin yang fokus pada penampilan luar akan sangat memperhatikan public relations. Citra diri adalah segalanya. Persepsi dan merek adalah dewa. Manusia yang hanya memikirkan masalah packaging, membuat manusia lain lupa akan substance-nya.
Agar dilihat baik hati, dikeluarkanlah kebijakan populis. Fokusnya hanya membuat hati senang, pikiran tenang. Bahwa kebijakan itu akan mendestruksi organisasi di masa depan, itu soal lain. Toh, jabatannya hanya beberapa periode kali 2-3 tahun.
Agar kelihatan memiliki atribut customer focus, menyenangkan pelanggan dilakukan di atas kewajaran. Kegiatan yang menyenangkan nafsu, yang merusak moral, tetap dilakukan. No nonsense for customer. Akibatnya, banyak yang berani memuaskan customer lebih dari memuaskan stakeholder lain. Bahkan saking demikian customer oriented-nya, sampai berani melanggar soulholder satisfaction.
Packaging dalam bentuk program dan proyek dilakukan serta-merta hanya untuk meningkatkan citra diri. Financial Make-up dilakukan dengan cermat untuk menutupi kekotoran pembukuan yang berganda. Perusakan lingkungan dibayar dengan program perbaikan lingkungan yang sebenarnya hanya ”lipstik” untuk konsumsi pers dan petinggi. Masyarakat sekitar menjadi victim, sedangkan perusak menjadi victor. Mendapat penghargaan dari petinggi negara dan dinobatkan menjadi tokoh peduli lingkungan.
Agar tak dituduh egois, dilantunkan lagu filantropis. Donasi untuk pendidikan dengan pendirian ribuan sekolah dasar atau fokus pada kesehatan dengan bantuan alat kesehatan untuk puskesmas di seantero negeri, padahal dananya didapat dari rekayasa keuangan yang kasat mata. Transfer harga dan transaksi siluman yang melibatkan tax haven country.
Berpidato cinta Tanah Air dan menebarkan rasa nasionalisme kebangsaan baru. Cinta produk Indonesia dan berbagai slogan yang membuat bulu kuduk berdiri dan hati merinding. Luar biasa. Selidik punya selidik, itu sebatas uang recehan. Hanya sebatas packaging untuk menutupi kecurangan dan manipulasi intelektual. Padahal, ia tidak cinta republik ini. Bagian terbesar pajaknya dinikmati rakyat negara seberang. Smart. Cerdik seperti ular. Tidak salah, hanya jangan berpidato cinta Tanah Air dan segala paham kebangsaan kalau soal membayar pajak saja segan.
Mendandani hidup ini dengan segenap aksesori memang wajar. Namun kalau hidup sekadar fokus pada hal lahiriah, akan ada konflik batin yang tak pernah usai. Hidup lebih dari sekadar akseptasi manusia lain. Hidup lebih indah dari sekadar beberapa karat berlian yang dibeli dari korupsi. Hidup lebih berbahagia dari sekadar rumah bertingkat di penthouse apartemen di Jalan Sudirman, Jakarta. Kalau mau terbuka, kebahagiaan dan ketenangan hidup ada pada kejujuran terhadap diri sendiri. Mungkin akan ada salah pengertian atau bahkan penolakan karena menjadi diri sendiri. Karena, yang jujur menjadi aneh. Tidak smart.
Dalam jangka pendek, segala jenis make-up dan fashion akan meningkatkan nilai jual pribadi atau produk. Setahun, dua tahun dan beberapa tahun mungkin masih bisa bertahan. Lambat laun akan ketahuan pula. Pada akhirnya, yang mampu bertahan pada jangka panjang adalah pribadi yang menampilkan kinerja jujur dan benar.
Keberanian menampilkan apa adanya membuat pemimpin tidak perlu banyak bersandiwara dan bermain muka. Ia bisa tampil sesuai dengan tuntutan nuraninya. Tak perlu bersilat lidah. Apa adanya dan itu yang dinanti oleh banyak pengikut. Kue Jepang memang indah, tapi belum tentu lebih enak dari wingko babat Semarang. Memang lebih baik kalau wingko yang enak itu dibalut dengan pembungkus gaya Jepang. Indah di luar, enak di dalam. (Bambang WS)

Tidak ada komentar: