Jumat, 08 Mei 2009

TRANSFORMASI 'ABRAKADABRA'

Bicara transformasi berarti merubah sebuah bangsa. Dan saya percaya transformasi itu berproses. Tidak dengan cara "abrakadabra". Beberapa tahun yang lalu orang-orang memiliki utopia dan harapan bahwa dengan acara transformasi, dimana para pemimpin rohani yang senior bergandengan tangan, merestitusi kesalahan masing-masing sambil menangis, maka transformasi akan segera terjadi. Bahkan dengan berani pada tahun 2003 ada tokoh Kristen yang mengatakan bahwa tahun 2005 adalah tahun transformasi. Tidak sesederhana itu kenyataannya. Bahkan ini sudah tahun 2008 dan segalanya seakan menjadi makin tidak mudah. Tengok saja keadaan bangsa ini dalam segala aspeknya. Benar dugaan saya semula. Transformasi itu berproses dan tidak terjadi serta merta dengan bermodalkan niatan baik saja, komitmen bersama di atas panggung dalam sebuah "acara transformasi" yang dramatis saja yang menghabiskan dana pula, kemudian turun ke jalan untuk bagi-bagi supermie dan buka sekolah serta klinik kesehatan gratis. Ada teman di Jakarta yang meneliti bahwa ternyata setelah acara-acara tranformasi digelar malah justru kasus perpecahan gereja-gereja bertambah secara kuantitas. Ironis! Sekarangpun sudah jarang terdengar santer lagi istilah transformasi, paling tidak tak sesemarak dulu lagi. Dimana pendekar-pendekar transformasi? Transformasi secara struktural sudah terjadi yang ditandai dengan rubuhnya rezim Soeharto karena gelombang gerakan reformasi tahun 1998. Tapi efek dari transformasi struktural hanyalah menunjukkan seberapa parah keadaan negeri kita sebenarnya. Semua kebobrokkan berbangsa dan bernegara dibongkar pada waktu itu. Itu baik...untuk menunjukkan sampai dimana kehancuran kita. Kita toh tidak mungkin bertobat kalau kita tidak mengerti apakah kita berdosa atau tidak. Tetapi sekian tahun era reformasi yang kita masuki tetap saja tidak terlihat perubahan yang spektakuler seperti yang menjadi harapan dan khayalan semua orang. Harapan yang tidak realistis memang, mengingat sudah parahnya kondisi kita sebagai bangsa yang dihancurkan secara perlahan sekian puluh tahun lamanya. Ada cara lain. Yaitu cara transformasi supra-struktural (supranatural). Atau cara adi kodrati melalui kebangunan rohani. Ini juga baik. Disebut juga cara Niniwe. Tetapi kisah-kisah kebangunan rohani yang besar di Alkitab toh tidak menunjukkan berefek panjang. Sebagai contoh, kisah kebangunan rohani di Niniwe melalui Yunus. Hanya dua kitab setelahnya, dan memang hanya hitungan beberapa tahun saja, diceritakan tangan Tuhan kembali teracung dalam murka penghukuman atas Niniwe. Demikian juga cerita kebangunan-kebangunan rohani yang lain, termasuk kisah-kisah kebangunan rohani modern. Kebangunan rohani yang sering didahului dengan doa puasa dan ratap tangis permohonan akan lawatan Allah pada kenyataannya tidak berlangsung dalam tempo panjang. Dia dimaksudkan untuk memberi kebangkitan,perspektif,penyegaran dan pembaharuan dalam kehidupan umat Tuhan tetapi kemudian harus dilanjutkan dengan misi dan aksi nyata menuntaskan kehendak Bapa. Lalu bagaimana sekarang? Tengoklah kembali Alkitab. Konsep transformasi di Alkitab yang merubah sebuah bangsa selalu berkaitan dengan konsep transformasi Infrastruktural. Artinya perubahan yang paling mendasar, dalam hal ini menyiapkan kepemimpinan. Mari belajar dari tranformator di Alkitab. Orang yang paling berpengaruh dalam merubah bangsa tentu bisa kita pelajari kehidupannya. Daniel yang merubah dan mentransformasi negeri Babel dan Persia. Yusuf yang menjadi berkat bagi bangsanya dan bangsa Mesir sekaligus. Daud yang membawa Israel menjadi bangsa yang mulia,terhormat dan makmur dalam jangka panjang. Mereka transformator..berurusan langsung dengan merubah sebuah bangsa. Apa yang kita bisa pelajari dari mereka? Pertama, mereka telah disiapkan jauh-jauh hari di masa muda mereka. Karir Daud sebagai transformator dimulai saat dia berumur 17 tahun mengalahkan Goliat yang kemudian menjadikan dia pemimpin seluruh pasukan tempur Israel dan dilanjutkan dengan karir raja Yehuda , pada akhirnya menjadi raja atas seluruh Israel. Daniel dibawa ke Babel saat berusia 18 tahun. Yusuf dilempar ke sumur dan mengawali petualangan karirnya dari sana saat dia berusia 17 tahun. Ada benang merahnya: persiapan pada usia muda. Yang kedua, mereka punya karakter dan tanda-tanda seorang transformator. Daniel punya kualitas (itu sebabnya pemerintah berganti 4 kali tapi dia tidak diganti), prinsip (tidak mau menajiskan diri dengan makanan raja, rela makan sayur saja dan tidak berkompromi dengan prinsip-prinsip kafir), dan kedisiplinan hidup (berdoa "seperti yang biasa dilakukannya"). Yusuf memiliki mimpi (yang membuat dia bertahan dalam tekanan apapun juga, tidak pernah menyerah sebelum mimpinya terwujud). Daud memiliki keberanian membela Tuhan dan kebenaran. Yang ketiga, mereka masuk di jalur kepemimpinan. Daniel sebagai penasihat raja yang akhirnya membawa dia sebagai pemimpin nomor dua di kerajaan Babel. Yusuf sebagai orang kedua di Mesir. Daud sebagai pemimpin pasukan yang membawanya jadi raja. Kesimpulannya, kita perlu membidik,menyiapkan dan memberdayakan anak muda. Kemudian mempertajam karakter-karakter transformator dalam diri mereka. Mengambil mereka dari tengah-tengah generasi muda yang tidak punya mimpi, takut gagal,takut sulit dan takut menyatakan fakta kebenaran, bermental mediokritas(setengah-setengah) dan asal jadi, tidak punya prinsip serta tidak disiplin. Sebaliknya kita mendidik mereka menjadi anak muda yang punya mimpi, keberanian, kualitas, disiplin dan prinsip-prinsip kehidupan. Yang terakhir, melepaskan mereka sejak dini untuk ambil posisi-posisi kepemimpinan dalam multidimensional, menjadi yang terbaik dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Kelak, lima belas tahun atau duapuluh tahun dari sekarang, negeri ini akan datang pada gereja, dan berterimakasih karena pemimpin-pemimpin yang takut akan Tuhan, adil, jujur, berkualitas, bermoral dan cerdas yang dihasilkan. Bukan jalan singkat dan mudah memang tetapi seperti itulah cara Tuhan mentransformasi negeri. Anak muda bukan warga kelas dua seperti biasa mereka diperlakukan di gereja-gereja kebanyakan. Mereka subyek dan pelaku sejarah...bukan obyek yang diperalat untuk maksud-maksud kepemimpinan yang tidak tulus. Jika tidak dimulai dari hari ini kapan lagi transformasi? Mari berdoa dan mengerang untuk bangsa ini sambil terus berkarya nyata. Menyiapkan sejak hari ini berarti menyiapkan masa depan negeri. (Cornelius Wing)

Tidak ada komentar: