He who is greatest among you, let him be a s the youngest, and he who governs as he who serves.”
Makan malam kedua sudah kami santap. Yang pertama di rumah karena kebetulan kami menempuh penerbangan malam. Kedua, makan malam dalam penerbangan dari Jakarta ke Singapura. Ketika ditawarkan makan malam ketiga dalam penerbangan Singapura-Frankfurt, saya menolak memilih dari daftar menu yang ada. ”Saya minta instant noodle,” kata saya. Ms. Ng, begitu nama yang tertulis di dadanya, terhenyak sejenak. ”Minumannya setelah take off?” tanyanya lagi. ”Just water without ice,” saya menjawab dengan cepat.
Di sebelah saya, duduk bos saya, yang kebetulan juga memiliki nama keluarga yang sama. ”Mr. Santoso, what would you like to drink after take off ?” saya mendengar Ms. Ng bertanya. ”Ice tea,” jawab bos. ”Any meals for dinner?” ”Can I have instant noodle,” jawabnya lagi.
Saya terhenyak, lalu menegur si bos dengan tertawa. ”Walah, kok cuma teh? Masak di kelas bisnis minumnya ingat yang di rumah,” kata saya menggoda. ”Apa pun makanannya, minumnya teh manis,” jawabnya sambil tertawa menyeringai. ”Dasar orang Karang Kebon (kampung di Semarang tempat kami berdua dibesarkan, kebetulan pula kami pernah sekampung),” saya berujar lagi.
Setelah take off, Ms. Ng mulai mengedarkan minuman yang kami pesan. Saya bergurau lagi dengan bos. ”Let’s have a toast. Air dan teh manis,” kata saya sambil mengangkat gelas. Ia pun mengangkat gelasnya, dan kami bersulang sambil tertawa. “Dasar orang Karang Kebon,” saya menggumam lagi.
Ms. Ng beberapa saat kemudian menghampiri saya. Dia menyodorkan kembali menu yang telah dipersiapkan. Dengan senyumnya yang ramah, ia menerangkan menu andalan yang telah disiapkan malam itu. Maklum, pelanggan Priority Passenger dan Solitaire, perlu dilayani dengan lebih serius. Saya mencoba mengerti. Toh, keputusan saya tetap. ”Can I have instant noodle?” “Of course, you can. But …,” selanya lagi. Ms. Ng berusaha meyakinkan saya bahwa menu makanan yang disiapkan sangat istimewa, karena khusus disajikan pada waktu musim semi. Asparagus khusus dari Jerman. Ketika saya tetap bersikukuh dengan pilihan saya, ia pun setuju dengan kembali tersenyum dan berkata, “Are you sure?” “Yes, I am very sure. I just need instant noodle.”
Saya berujar, ”Pak, luar biasa sikap mereka. Mereka tidak puas kalau kita hanya makan mi dan minum teh manis. Mereka berupaya agar kita menikmati yang terbaik. Andaikan karyawan kita memiliki sikap yang sama. They built to serve,” seperti biasanya saya menganalisis karena terbiasa sebagai assessor.
Tiba saatnya istirahat. Saya tidak tahu cara merebahkan kursi untuk menjadi flat bed. Saya tanyakan pada bos, ”Bagaimana caranya?” Ia menjawab, ”Tidak usah repot, panggil saja mereka.” ”Ah, masak begitu saja merepotkan.” ”Tinggal tekan tombol yang ada di belakang.”
Saya pun berdiri dan mencoba membuat flat bed. Belum usai saya mencoba karena jujur masih kebingungan, Ms. Ng sudah datang. Dengan sigap ia membantu saya menyiapkan tempat tidur yang sangat nyaman. ”Orang Karang Kebon kok bisa merasakan flat bed begini ya,” kata saya. Si bos cuma tersenyum. ”Saya tak pernah berpikir bahwa suatu kali saya bisa merasakan kenyamanan seperti ini,” lanjut saya, kali ini saya serius. Mata saya lalu terpejam sembari memanjatkan doa syukur.
Saya memejamkan mata. Lalu saya merasa ada seseorang yang menyelimuti saya dengan selimut halus. Saya membuka mata. Ms. Ng rupanya. Ia kembali tersenyum, sambil merapikan selimut di badan saya ia mengucapkan, ”Have a nice sleep, Sir.” ”Thank you (hampir saja saya mengatakan you too, seperti biasanya).”
Kembali saya merenung. They are built to serve. Selalu ada cara untuk melayani. Tidak sekadar panggilan deskripsi pekerjaan, standard operating procedure atau bahkan key performance indicator. Saya dapat merasakan bahwa mereka melakukannya karena sikap yang muncul dari hati. Tidak semua pramugari tentunya. Namun setidaknya ada dalam diri pramugari yang bertugas saat itu.
Dalam penerbangan pulang, kami berdua terpaksa menggunakan kelas utama karena kelas bisnis sudah penuh – padahal kami sudah melakukan pemesanan dua bulan sebelum kepulangan.
Kembali pengalaman serupa terjadi. Bayangan di first class, duo Santoso, memesan persis sama untuk makanan dan minum setelah take off. Mi instan dan teh manis. Saya sengaja memesan yang sama untuk membandingkan sikap pramugari di kelas bisnis dan kelas utama. Saya khawatir kasus Ms. Ng dan sejawatnya dalam penerbangan itu adalah pengecualian.
Saya tak pernah berpikir bahwa saya juga mendapat pertanyaan keheranan dan perilaku untuk meyakinkan bahwa saya mengerti yang saya pilih. ”First class seharga ribuan US$ hanya untuk menikmati mi hangat dan teh manis?” pikir mereka. Saya terkagum ketika Ms. Tan juga memiliki sikap seperti Ms. Ng. Bahkan ketika saya sedang ganti baju dengan piama khusus untuk kelas utama buatan Givenchy, Ms. Tan sudah menyiapkan flat bed, yang tentunya kali ini lebih luas, nyaman, dan segera dirapikan.
Saya tak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan karena flat bed yang kurang nyaman, karena sesungguhnya sangat nyaman. Namun, memikirkan apa jadinya kalau Garuda memiliki pramugari dengan sikap yang seperti itu. Bukan sekadar seperti SQ girl atau Garuda girl. Melainkan Indonesian girl. Apa pun pesawatnya, kalau pramugarinya orang Indonesia pasti penerbangan menjadi nyaman.
Bagaimana kalau sikap seperti itu menjadi acuan buat seluruh perusahaan? Mana mungkin orang ganti pemasok kalau dilayani bak raja. Sulit sekali membayangkan ada pelanggan yang berkategori swinger, jika aspirasi seluruh karyawan perusahaan ingin membuat sukses pelanggannya.
Sikap melayani yang menjadi brand akan membuat pesaing kebingungan. Apa yang mau dilawan karena mutu produk akan semakin seragam? Apa yang mau ditawarkan karena kualitas pascajual akan menjadi barang biasa? Apa yang mau dijadikan daya saing kalau product, price, place and promotion mudah ditiru? Sikap pelayanan adalah daya saing di dekade mendatang. Kalau kita bisa menjadikan karyawan kita built to serve, maka pangsa pasar dan keuntungan yang mencari kita. Kapan kita bisa? (Bambang WS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar